Bak cacing menjadi naga, menunjukan orang yang dulu sering dihina kemudian menjadi orang hebat. Namun hebat dalam hal ‘lain’ dapat dilihat dari Parlindungan Siregar. Berusia 45 tahun warga Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara. Telah membunuh tetangga nya akibat sakit hati, lantaran sering ditanya kapan nikah pada Senin 29 Juli lalu.
Bercanda dalam keseharian yang biasa terjadi, bisa saja dianggap suatu lelucuan. Namun mendengar hal yang sama secara terus – menerus, bisa saja sangat mengganggu. Bahkan selalu kepo dengan mempertanyakan hal yang sama. ‘Kapan Nikah?’ ‘Apa alasan nya belum nikah hingga saat ini?’ Membayangkan nya saja membuat telinga saya sakit.
Namun saya hanya bisa membayangkan saja. Sebab saya baru berusia 20 tahun, mana berani mendukung peristiwa ini, tidak dibenarkan adanya pertumpahan darah perkara guyon saja. Maka dari itu dilemparlah pertanyaan ini ke teman – teman terdekat. Dan mereka sepakat, mendengar pertanyaan itu sangat mengganggu. Bahkan salah satunya merasa privasi nya ‘dicongkel’.
Salah satunya dari teman saya, sebut saja senior kerja. Baginya saya adalah sahabatnya, bagi saya dia hanya teman saja. Bercanda, hehehe..
Ia pun bercerita, saat itu baru saja berusia 24 tahun, hingga umurnya 28 tahun selalu ditanya mengenai kapan nikah. Bedanya, yang bertanya ini orang tua dia, bukan orang lain. Namun ia ungkap, tetap saja rasanya sangat menjengkelkan. Ketika dirinya selalu ditanya, pertanyaan yang sama secara berulang selama 4 tahun lebih. Hal itu merupakan kejengkelan yang akan dia ingat seumur hidupnya. Bukan berarti dendam, malah saat ini dia sudah menikah. Hanya saja ia tak bisa melupakan kejengkelan itu secara terus menerus. “Bujang lapuk!” 2 kata lucu yang dia masih ingat dari perkataan orang tuanya.
Ada lagi teman saya yang lain, dia bersaudara dengan 7 sanak yang diantaranya hanya satu saja perempuan. Sehingga dia sebagai anak ke-4 dari 7 saudara, akhir – akhir ini sering ditanya kapan nikah. Namun tetap, yang nanya orang tua dia. Tutur dari orang tua nya dalam rumah pun, saya dengar saat mengajak dia ngumpul diluar.
“Sudah berhenti sekolah! Padahal udah mau lulus! Ngomong nya kerja udah dibiarin juga! Malah berhenti kerja!! Setidaknya nikahlah biar mama mu ini bisa gendong cucu! Bisa liat elu sukses waktu masih idup!!” Denger saya dengan tutur lengkingan khas emak – emak.
Ketika dia naik boncengan motor saya, nampak sekali raut malu dirinya. Padahal yang ngomong ini orang tua nya sendiri, apalagi orang lain. Gimana ga sakit hati?
Balik lagi, padahal persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan teguran saja. Malah menjadi eksekusi untuk sang korban yang berusia 60 tahun ini. Korban pun dikenal juga sebagai tukang bercanda di lingkungan sekitarnya.
“Kenapa belum kawin sampai sekarang??” sambil tertawa tiap kali melihat sang pelaku memasuki rumah, atau hanya pada saat papasan saja.
Lama tak disangka, saat korban sedang mempersiapkan warung miliknya di pasar setempat. Datanglah sang pelaku membawa motor dan berbekal kayu di tangan kiri nya, menghampiri korban.
Bisa ditebak kelanjutan nya seperti kabar yang beredar. Hingga pada akhirnya, candaan atau jokes yang diulang – ulang akan basi. Seperti makanan anak kos kosan yang di pirit, dan disimpan dalem kulkas. Niatnya menghemat, ujungnya sakit perut. Duh!
Makanya, ada seorang komedian yang sering bilang gini (saya lupa namanya). “Jokes (guyon) yang diulang secara terus menerus, dan didengar oleh orang yang sama itu, bukanlah sebuah jokes tapi sebuah pesan tersirat. Apalagi jokes nya ngatain orang,” ujarnya.
Jadi, alangkah baiknya agar kita tau kondisi hubungan kita dengan orang lain. Teman dekat saja bisa berantem akibat saling guyon, apalagi hanya ‘tetanggaan’. Jangan juga bercanda dengan berlebihan, kita tidak tau isi hati orang lain bagaimana. Namun juga tidak membenarkan akibat “tersinggung” mengeluarkan dampak yang merugikan orang lain, apalagi sampai membunuh. Tersinggung adalah hak semua orang.
Penulis: Haris Pranata