Penulis: Haris Pranata
Kehadiran angkutan massal dengan skema Buy The Service (BTS) di Martapura, Kabupaten Banjar, membuat saya penasaran bagaimana rasanya menjajali bus milik Pemprov Kalsel itu.
Terus terang saja. Sampai saat ini saya belum pernah menaiki Bus Tayo itu. Ya, saya sering dengar warga menyebutnya demikian. Pernah sekali naik bus, tapi itu waktu liburan sekolah SMP dulu. Tentu beda ruang kabinnya dengan Bus Tayo.
Setahu saya, bus ini punya rute Martapura hingga Banjarmasin. Di Martapura, terdapat beberapa halte, yaitu di Simpangan Darussalam, depan Pasar Batuah, SMAN 1 Martapura, SMPN 1 Martapura, SMPN 3 Martapura.
Meski tidak ada rencana kemana – mana, saya tetap mencoba ikut bus itu. Kalau tidak sekarang kapan lagi?
Singkatnya, saya mendatangi halte simpang tiga Ponpes Darussalam. Di situ halte terakhir Bus Tayo untuk wilayah Martapura.
Demi Tayo, saya rela tinggalkan motor saya di parkiran asrama santri. Kurang dari 10 menit, bus yang saya tunggu tiba dan berhenti tepat di depan saya berdiri.
Bus bercorak sasirangan didominasi kuning dan hijau berlogo rumah adat Banjar. Si sopir membukakan pintu dari tempat duduknya, saya masuk dan langsung bayar menggunakan scan barcode (QRIS).
Untuk tarif penumpang umum seperti saya, hanya Rp 5.000 saja jika menggunakan QRIS, Rp 6.000 jika bayar tunai. Rp 2.000 bagi pelajar dan mahasiswa, tentunya harus membuktikan dengan kartu pelajar atau mahasiswa. Bagi penyandang disabilitas gratis.
Di dalam bus, terdapat 20 kursi berwarna biru beludru untuk penumpang dan sejumlah handle atau pegangan tangan berwarna kuning untuk penumpang berdiri.
Bagi saya pribadi, AC bus ini cukup dingin. Saat melaju, bus ini cukup bergoyang. Entah jalannya yang bergelombang dan suspensinya yang kurang enak.
Tak lama, ada seorang wanita tampak akrab sambil berbicara dengan sopir. “Untung banar aku ada bus ini, mun pakai ojek bisa dua puluh ribu sekali jalan,” ujarnya.
Mendengar itu, saya menanyakan kemana arah tujuan ibu ini. “Ke simpang empat (bundaran) Banjarbaru, aku berjualan di terminal sana,” jawabnya.
Dari halte ia naik sampai ke bundaran Banjarbaru, berdasarkan google maps, jaraknya sekitar 5 kilometer.
Bus ini juga dilengkapi sistem pemberitahuan lokasi secara otomatis, tiap akan melewati halte. Sehingga bagi penumpang tanpa harus membaca layar untuk mengetahui sudah berada di pemberhentian mana.
Karena niat saya sedari awal hanya mencoba, saya hentikan perjalanan ini sebelum lampu merah di simpang empat Sekumpul Martapura.
Setelah turun, saya berniat naik bus tayo lagi untuk mendatangi motor saya di halte awal. 15 menit berlalu, bus tidak muncul.
Fokus saya menunggu bus di trotoar buyar, lantaran ada pria menggunakan motor matic memanggil saya. “Ding, ojek kah?” tawarnya.
Dalam benak saya, ojek dari Simpang Empat Sekumpul ke Simpangan Darussalam sepertinya lebih mahal dari bus tadi.
“Berapa ongkos ke simpangan Darussalam,” tanya saya.
“Lima ribu aja ding,” katanya.
Saya kaget, karena tarif yang ditawarkan di bawah ekspektasi saya. Relatif murah untuk ojek pengkolan.
Singkatnya, saya naik ojek bapak itu. Namanya Adi, usianya sudah berkepala tiga. Ia berasal dari Pengaron, suatu kecamatan yang ada di ujung Banjar. Ia mengaku sudah menggeluti jadi tukang ojek selama 10 tahun.
“Aku ngojek niatnya ibadah ding, lawan happy jua menggawinya,” jawabnya dengan riang.
Soal keberadaan Bus Tayo, baginya tidak ada masalah.
“Aku menggawi gojek ini langganan, jadi tidak nunggu tarikan dan tidak perlu mengenai orang. Jadi rezeki sudah ada masing – masing. Kada khawatir aku ada tayo ini,” jawabnya.
Ia pun mengungkapkan, pendapatan perharinya bahkan mencapai lebih dari seratus ribu perharinya.
“Karena saya masih bujangan, saya sehari kalau sudah cukup kawa menggawi yang lain lagi,” ungkapnya.